kesultanan
Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam,
atau Samudera Pasai, adalah kerajaan
Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di
sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini
untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.[1] Namun beberapa
sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat
Raja-raja Pasai,[2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan
koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.[3]
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan
Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum
dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn
Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun
1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun
1521
Sejarah Masuknya Agama ISLAM
ke Indonesia

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 632 M, kepemimpinan Islam dipegang oleh para khalifah. Dibawah kepemimpinan para khalifah, agama Islam mulai disebarkan lebih luas lagi. Sampai abad ke-8 saja, pengaruh Islam telah menyebar ke seluruh Timur Tengah, Afrika Utara, dan Spanyol. Kemudian pada masa dinasti Ummayah, pengaruh Islam mulai berkembang hingga Nusantara.
Sejarah mencatat, kepulauan-kepulauan Nusantara merupakan daerah yang terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Hal tersebut membuat banyak pedagang dari berbagai penjuru dunia datang ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah yang akan dijual kembali ke daerah asal mereka. Termasuk para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat. Selain berdagang, para pedagang muslim tersebut juga berdakwah untuk mengenalkan agama Islam kepada penduduk lokal.
Teori-Teori Masuknya Islam ke Indonesia
Menurut beberapa sejarawan, agama Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang muslim. Meskipun begitu, belum diketahui secara pasti sejak kapan Islam masuk ke Indonesia karena para ahli masih berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Setidaknya ada tiga teori yang mencoba menjelaskan tentang proses masuknya Islam ke Indonesia yaitu teori Mekkah, teori Gujarat, dan teori Persia.
- Teori Gujarat, Teori yang
dipelopori oleh Snouck Hurgronje ini menyatakan bahwa agama Islam baru
masuk ke Nusantara pada abad ke-13 Masehi yang dibawa oleh para pedagang
dari Kambay(Gujarat), India.
- Teori Persia, Teori ini
dipelopori oleh P.A Husein Hidayat. Teori Persia ini menyatakan bahwa
agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Persia (sekarang Iran) karena
adanya beberapa kesamaan antara kebudayaan masyarakat Islam Indonesia
dengan Persia.
- Teori Mekkah, Teori ini
adalah teori baru yang muncul untuk menyanggah bahwa Islam baru sampai di
Indonesia pada abad ke-13 dan dibawa oleh orang Gujarat. Teori ini
mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah (arab)
sebagai pusat agama Islam sejak abad ke-7. Teori ini didasari oleh sebuah
berita dari Cina yang menyatakan bahwa pada abad ke-7 sudah terdapat
sebuah perkampungan muslim di pantai barat Sumatera.
Sebuah batu nisan berhuruf Arab milik seorang wanita muslim bernama Fatimah Binti Maemun yang ditemukan di Sumatera Utara dan diperkirakan berasal dari abad ke-11 juga menjadi bukti bahwa agama Islam sudah masuk ke Indonesia jauh sebelum abad ke-13.
Proses Masuknya Islam di Indonesia
Proses masuknya islam ke Indonesia dilakukan secara damai dengan cara menyesuaikan diri dengan adat istiadat penduduk lokal yang telah lebih dulu ada. Ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan persamaan derajat, tidak membeda-bedakan si miskin dan si kaya, si kuat dan si lemah, rakyat kecil dan penguasa, tidak adanya sistem kasta dan menganggap semua orang sama kedudukannya dihadapan Allah telah membuat agama Islam perlahan-lahan mulai memeluk agama Islam.
Proses masuknya Islam ke Indonesia dilakukan secara damai dan dilakukan dengan cara- cara sebagai berikut.
- Melalui Cara Perdagangan
Indonesia dilalui oleh jalur perdagangan
laut yang menghubungkan antara China dan daerah lain di Asia. Letak Indonesia
yang strategis ini membuat lalu lintas perdagangan di Indonesia sangat padat
padat dilalui oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk para pedagang
muslim. Para pedagang muslim ini banyak bermukim di daerah pesisir pulau Jawa
dan Sumatera yang penduduknya masih menganut agama Hindu. Para pedagang ini
mendirikan masjid dan mendatangkan para ulama dan mubalig untuk mengenalkan
nilai dan ajaran Islam kepada penduduk lokal.
- Melalui Perkawinan
Bagi masyarakat pribumi, para
pedagang muslim dianggap sebagai kelangan yang terpandang. Hal ini menyebabkan
banyak penguasa pribumi tertarik untuk menikahkan anak gadis mereka dengan para
pedagang ini. Sebelum menikah, sang gadis akan menjadi muslim terlebih dahulu.
Pernikahan secara muslim antara para saudagar muslim dengan penguasa lokal ini
semakin memperlancar penyebaran Islam di Nusantara.
- Melalui Pendidikan
Pengajaran dan pendidikan Islam
mulai dilakukan setelah masyarakat islam terbentuk. Pendidikan dilakukan di
pesantren ataupun di pondok yang dibimbing oleh guru agama, ulama, ataupun
kyai. Para santri yang telah lulus akan pulang ke kampung halamannya dan akan
mendakwahkan Islam di kampung masing-masing.
- Melalui Kesenian
Wayang adalah salah satu sarana
kesenian untuk menyebarkan islam kepada penduduk lokal. Sunan Kalijaga adalah
salah satu tokoh terpandang yang mementaskan wayang untuk mengenalkan agama
Islam. Cerita wayang yang dipentaskan biasanya dipetik dari kisah Mahabrata atau
Ramayana yang kemudian disisipi dengan nilai-nilai Islam.
Kesultanan Melaka
|
Kesultanan
Malaka adalah
sebuah Kerajaan
Melayu yang pernah
berdiri di Malaka, Malaysia. Kerajaan ini didirikan oleh Parameswara, kemudian mencapai puncak kejayaan
di abad ke 15 dengan menguasai jalur pelayaran Selat Malaka, sebelum ditaklukan oleh Portugal tahun 1511. Kejatuhan Malaka ini menjadi pintu masuknya
kolonialisasi Eropa di kawasan Nusantara.
Kerajaan ini
tidak meninggalkan bukti arkeologis yang cukup untuk dapat digunakan sebagai
bahan kajian sejarah, namun keberadaan kerajaan ini dapat diketahui melalui Sulalatus Salatin dan kronik Cina masa Dinasti Ming. Dari perbandingan dua sumber ini
masih menimbulkan kerumitan akan sejarah awal Malaka terutama hubungannya
dengan perkembangan agama Islam di Malaka serta rentang waktu dari pemerintahan
masing-masing raja Malaka. Pada awalnya Islam belum menjadi agama bagi masyarakat Malaka, namun perkembangan berikutnya
Islam telah menjadi bagian dari kerajaan ini yang ditunjukkan oleh gelar sultan yang disandang oleh penguasa Malaka berikutnya.
Pendirian
Berdasarkan Sulalatus Salatin kerajaan ini merupakan kelanjutan
dari Kerajaan
Melayu di Singapura, kemudian serangan Jawa dan Siam menyebabkan pusat pemerintahan
berpindah ke Malaka. Kronik Dinasti Ming mencatat Parameswara sebagai pendiri Malaka mengunjungi Kaisar Yongle di Nanjing pada tahun 1405 dan meminta
pengakuan atas wilayah kedaulatannya.[1] Sebagai balasan upeti yang
diberikan, Kaisar
Cina menyetujui
untuk memberikan perlindungan pada Malaka,[2] kemudian tercatat ada sampai 29
kali utusan Malaka mengunjungi Kaisar Cina.[3] Pengaruh yang besar dari relasi ini
adalah Malaka dapat terhindar dari kemungkinan adanya serangan Siam dari utara,
terutama setelah Kaisar Cina mengabarkan penguasa Ayutthaya akan hubungannya dengan Malaka.[4] Keberhasilan dalam hubungan
diplomasi dengan Tiongkok memberi manfaat akan kestabilan pemerintahan baru di
Malaka, kemudian Malaka berkembang menjadi pusat perdagangan di Asia Tenggara,
dan juga menjadi salah satu pangkalan armada Ming.[5][6]
Laporan dari
kunjungan Laksamana Cheng
Ho pada 1409,
mengambarkan Islam telah mulai dianut oleh masyarakat
Malaka,[4] sementara berdasarkan catatan Ming,
penguasa Malaka mulai mengunakan gelar sultan muncul pada tahun 1455. Sedangkan dalam Sulalatus Salatin gelar sultan sudah mulai
diperkenalkan oleh penganti berikutnya Raja Iskandar Syah, tokoh yang
dianggap sama dengan Parameswara oleh beberapa sejarahwan.[5] Sementara dalam Pararaton disebutkan terdapat nama tokoh yang
mirip yaitu Bhra Hyang Parameswara sebagai suami dari Ratu Majapahit, Ratu Suhita. Namun kontroversi identifikasi
tokoh ini masih diperdebatkan sampai sekarang.
Pada tahun
1414 Parameswara digantikan putranya, Megat Iskandar Syah,[2] memerintah selama 10 tahun,
kemudian menganut agama Islam[7] dan digantikan oleh Sri Maharaja
atau Sultan Muhammad Syah. Putra Muhammad Syah yang kemudian menggantikannya,
Raja Ibrahim, mengambil gelar Sri Parameswara Dewa Syah. Namun masa pemerintahannya hanya
17 bulan, dan dia mangkat karena terbunuh pada 1445. Saudara seayahnya, Raja
Kasim, kemudian menggantikannya dengan gelar Sultan Mudzaffar Syah.
Hubungan dengan kekuatan regional
Sampai tahun
1435, Malaka memiliki hubungan yang dekat dengan Dinasti Ming, armada Ming berperan mengamankan
jalur pelayaran Selat
Malaka yang
sebelumnya sering diganggu oleh adanya kawanan perompak dan bajak laut.[4] Di bawah perlindungan Ming, Malaka
berkembang menjadi pelabuhan penting di pesisir barat Semenanjung
Malaya yang tidak
dapat disentuh oleh Majapahit dan Ayutthaya. Namun seiring
berubahnya kebijakan luar negeri Dinasti Ming, Kawasan ujung tanah ini
terus diklaim oleh Siam sebagai bagian dari kedaulatannya sampai Malaka jatuh
ke tangan Portugal, dan setelah takluknya Malaka,
kawasan Perlis, Kelantan, Terengganu dan Kedah kemudian berada dalam kekuasaan Siam.[6]
Sulalatus
Salatin juga
mengambarkan kedekatan hubungan Malaka dengan Pasai, hubungan kekerabatan ini dipererat
dengan adanya pernikahan putri Sultan Pasai dengan Raja Malaka dan kemudian
Sultan Malaka pada masa berikutnya juga turut memadamkan pemberontakan yang
terjadi di Pasai. Ma
Huan juru tulis Cheng Ho menyebutkan adanya kemiripan adat
istiadat Malaka dengan Pasai serta ke dua kawasan tersebut telah menjadi tempat
pemukiman komunitas muslim di Selat Malaka.[4] Sementara kemungkinan ada ancaman
dari Jawa dapat dihindari, terutama setelah Sultan
Mansur Syah membina
hubungan diplomatik dengan Batara Majapahit yang kemudian meminang dan
menikahi putri Raja Jawa tersebut.[8] Selain itu sekitar tahun 1475 di
Jawa juga muncul kekuatan muslim di Demak yang nanti turut melemahkan
hegemoni Majapahit atas kawasan yang mereka klaim sebelumnya sebagai daerah
bawahan. Adanya keterkaitan Malaka dengan Demak terlihat setelah jatuhnya
Malaka kepada Portugal, tercatat ada beberapa kali pasukan Demak mencoba
merebut kembali Malaka dari tangan Portugal.[7][9]
Masa kejayaan
Pada masa
pemerintahan Sultan Mudzaffar Syah, Malaka melakukan ekspansi di
Semenanjung Malaya dan pesisir timur pantai Sumatera, setelah sebelumnya berhasil
mengusir serangan Siam.[8] Di mulai dengan menyerang Aru yang disebut sebagai kerajaan yang
tidak menjadi muslim dengan baik.[7] Di bawah pemerintahan raja
berikutnya yang naik tahta pada tahun 1459, Sultan
Mansur Syah, Melaka
menyerbu Kedah dan Pahang, dan menjadikannya negara vassal.[rujukan?] Di bawah sultan yang sama Johor, dan Siak juga takluk.[rujukan?] Dengan demikian Melaka
mengendalikan sepenuhnya kedua pesisir yang mengapit Selat Malaka.[rujukan?] Sultan Mansur Syah kemudian
digantikan oleh putranya Alauddin Riayat Syah dan kemudian digantikan oleh
putranya Sultan
Mahmud Syah.[8]
Penurunan
Sultan
Mahmud Syah memerintah Malaka sampai tahun 1511, saat ibu kota kerajaan
tersebut diserang pasukan Portugal di bawah pimpinan Afonso de Albuquerque. Serangan dimulai pada 10 Agustus 1511 dan pada 24 Agustus 1511 Malaka jatuh kepada Portugal. Sultan Mahmud Syah
kemudian melarikan diri ke Bintan dan menjadikan kawasan tersebut
sebagai pusat pemerintahan baru.[10] Perlawanan terhadap penaklukan
Portugal berlanjut, pada bulan Januari 1513 Patih Yunus dengan pasukan dari Demak berkekuatan 100 kapal 5000 tentara
mencoba menyerang Malaka, namun serangan ini berhasil dikalahkan oleh Portugal.[9] Selanjutnya untuk memperkuat
posisinya di Malaka, Portugal menyisir dan menundukkan kawasan antara Selat Malaka. Pada bulan Juli 1514, de
Albuquerque berhasil menundukkan Kampar, dan Raja Kampar menyatakan kesediaan
dirinya sebagai vazal dari Portugal di Malaka.[10]
Sejak tahun
1518 sampai 1520, Sultan Mahmud Syah kembali bangkit dan terus melakukan
perlawanan dengan menyerang kedudukan Portugal di Malaka. Namun usaha Sultan
Malaka merebut kembali Malaka dari Portugal gagal. Di sisi lain Portugal juga
terus memperkokoh penguasaannya atas jalur pelayaran di Selat Malaka. Pada pertengahan tahun 1521,
Portugal menyerang Pasai, sekaligus meruntuhkan kerajaan yang juga merupakan sekutu dari Sultan Malaka.
Selanjutnya
pada bulan Oktober 1521, pasukan Portugal dibawah pimpinan de Albuquerque
mencoba menyerang Bintan untuk meredam perlawanan Sultan Malaka, namun serangan
ini dapat dipatahkan oleh Sultan Mahmud Syah. Namun dalam serangan berikutnya
pada 23 Oktober 1526 Portugal berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan
Malaka kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian.[10] Berdasarkan Sulalatus Salatin Sultan Mahmud Syah kemudian
digantikan oleh putranya Sultan Alauddin Syah yang kemudian tinggal di Pahang beberapa saat sebelum menetap di Johor.[11] Kemudian pada masa berikutnya para
pewaris Sultan Malaka setelah Sultan
Mahmud Syah lebih
dikenal disebut dengan Sultan Johor.
Daftar raja
Malaka
Periode
|
Nama Raja
|
Catatan dan peristiwa penting
|
|
1405-1414
|
|||
1414-1424
|
Mu-kan-sa-yu-ti-er-sha*
Megat Iskandar Syah Raja Kecil Besar** Raja Besar Muda*** Chaquem Daraxa**** |
||
1424-1444
|
|||
1444-1445
|
Hsi-li-pa-mi-hsi-wa-er-tiu-pa-sha*
Sri Parameswara Dewa Syah Sultan Abu Syahid** Sultan Muhammad Syah*** |
||
1446-1459
|
|||
1459-1477
|
|||
1477-1488
|
|||
1488-1511
|
|||
Sejarah Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam
pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267
M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam
raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam ini terletak di dekat
reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa Beuringin, kecamatan
Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di antara makam raja-raja
tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja Pasai pertama. Malik
al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk Islam, dan merupakan
sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326
M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak,
dengan raja pertama Malik al-Saleh.Kapan sebenarnya Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian tahun yang didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum bisa memperoleh suatu kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan berdasarkan penyelidikan atas beberapa sumber sementara , terutama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat khususnya para sarjana Belanda sebelum perang seperti Snouck Hurgronye, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII. Dan sebagai pendiri kerajaan ini adalah Sultan Malik As Salih yang meninggal pada tahun 1297.

Selain pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda itu, baik dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan sejak tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, maupun dalam seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung di Banda Aceh pada tanggal 10 s/d 16 Juli 1978, oleh beberapa sejarawan dan cendikiawan Indonesia (diantaranya Prof. Hamka, Prof. A.Hasjmy, Prof. H.Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said dan M.D. Mansoer) yang ikut serta dalam kedua seminar tersebut telah pula melontarkan beberapa pendapat dan dalil-dalil baru yang berbeda dengan yang lazim dikemukakan oleh para sarjana Belanda seperti tersebut di atas.
Berdasarkan beberapa petunjuk dan sumber-sumber baru yang mereka kemukakan diantaranya keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara dan dua buah naskah lokal yang diketemukan di Aceh yaitu, “Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak Al Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh ,mereka berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke XI M, atau tepatnya pada tahun 433 H (1042 M). Dan sebagai pendiri serta sultan yang pertama dari kerajaan ini adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.
Atas dasar peninggalan-peninggalan dan penemuan-penemuan dari hasil penggalian dan yang dilakukan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan ini di daerah yang dewasa ini dikenal dengan nama Pasai. Yaitu suatu daerah di pantai Timur Laut Pulau Sumatera yang terletak antara dearah Peusangan dengan Sungai Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang menyelidiki tentang kerajaan ini menyatakan bahwa Pasai mula-mula terletak di sebelah kanan Sungai Pasai, sedangkan Samudera berada di sebelah kirinya, tetapi lama kelamaan Samudera dan Pasai ini menjadi satu dan disebut Kerajaan Samudera Pasai
Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.
Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke XIII dan ke XIV M. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat. Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai . Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII M, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam. Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia, berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina, adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.
Sehubungan dengan asal nama kerajaan Samudera Pasai ini, Hikayat Raja-raja Pasai salah sebuah Historiografi Melayu yang banyak mengandung unsur-unsur Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di dalamnya , memberi suatu keterangan yang berkaitan dengan totemisme, yaitu disebutkan antara lain:
“…pada suatu hari merah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu bernama si Pasai. Maka dilepaskannya anjing itu lalu menjalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing maka ditangkapnya oleh erah Silu itu lalu dimakannya. Maka tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya. Setelah sudah maka Merah Silupun duduklah ia di sana dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana maka dinamai oleh Merah Silu negeri Samudera, artinya semut yang amat besar.
Selanjutnya tentang asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan sebagai berikut:
“…setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itupun matilah pada tempat itu. Maka disuruh sultan tanamkan dia di sana juga. Maka dinamai baginda akan nama anjing nama negeri itu”.
Kalau kita berpegang dari keterangan kedua hikayat yang mithologis tersebut, maka nama Samudera berasal dari nama seekor semut besar dan nama Pasai berasal dari nama anjingpiaraan Raja merah Silu, yaitu si Pasai. Hal ini sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut, sejauh mana terdapat hubungan antara totemisme dengan usaha pemberian keterangan tentang asal dan arti kerajaan Islam Samudera Pasai itu. Karena lazimnya untuk nama kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sebelum tahun 1500, diambil dari nama pohon, buah-buahan dan lain sebagainya.
Seperti juga disebutkan dalam kedua hikayat tersebut di atas, bahwa raja Samudera Pasai yang pertama sekali menganut agama Islam adalah Malik As Salih. Pada nisan sultan ini yang dibuat dari batu graniet dapat diketahui bahwa ia mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.Tentang bagaimana dan siapa yang mengembangkan agama Islam buat pertama kali di kerajaan ini, Hikayat Raja-raja Pasai antara lain meyebutkan sebagai berikut:
“…pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat jang maha mulja itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda: “Bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri di atas angin samudera namanja. Apabila ada didengar kabar negeri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negeri masuk agama Islam serta mengutjapkan dua kalimah sjahadat. Sjahdan lagi akan didjadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanjak daripada segala wali Allah djadi dalam negeri itu”.
Dan tentang pengislaman serta penggantian nama Raja Merah Silu dengan nama yang baru Malikul Salih, hikayat itu juga memberi keterangan:
“Sebermula maka bermimpi Merah Silu dilihatnja dalam mimpinja itu ada seorang-orang menumpang dagunya dengan segala djarinja dan matanja ditutupnja dengan empat djarinja, demikian katanja: “Hai Merah Silu, udjar olehmu dua kalimah Sjahadat”.
Maka sahut Merah Silu “Tiada hamba tahu mengutjap akan dia”.
Maka Udjarnya: “Bukakan mulutmu”. Maka dibukanja mulut Merah Silu, maka diludahinja mulut merah silu itu rasanya lemak manis. Maka udjarnja akan merah silu “Hai Merah Silu engkaulah Sultan Malikul’-Saleh namamu sekarang Islamlah engkau dengan mengutjap dua kalimah itu…”
Hikayat itu juga menyebutkan bahwa orang yang menyebarkan/mengislamkan Sultan Samudera Pasai itu adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Rasul Allah Salla’llahu’alaihi wasallam, yaitu seorang Syarif berasal dari Mekah yang bernama Syarif Syaih Ismail .
Selain menurut hikayat tersebut, tradisi setempat juga menyebutkan bahwa raja pertama yang memeluk agama Islam di wilayah itu adalah Sultan Malik Al Salih. Tetapi menurut catatan atau suatu sumber yang dimiliki oleh M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa pada awal bulan Zulkaidah 610 Hijrah (1213 M), telah meninggal di kerajaan itu (Samudera Pasai) seorang Wazir Sultan Al Kamil yang bernama Maulana Quthubulma’ali Abdurrahman Al Pasi. Kalau sumber ini benar maka keterangan tersebut bermakna bahwa jauh sebelum Malik As Salih sudah terdapat sultan yang memeluk agama Islam di kerajaan itu. Seperti telah disebutkan bahwa raja Samudera Pasai yang pertama berdasarkan sumber sejarah yang konkrit ialah Malik As Salih yang meninggal tahun 1297. Kalau dalam tahun 1297, kita kenal sebagai tahun kematian raja itu, tentunya masyarakat Islam di kerajaan itu telah terdapat jauh sebelumnya. Karena pertumbuhan sesuatu biasanya menghendaki suatu proses, suatu tempo yang lama. Demikian juga dari keterangan yang diberikan Hikayat Raja-raja PasaiI seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa Nabi Muhammad telah menyebutkan nama kerajaan Samudera dan juga agar penduduk kerajaan itu diislamkan oleh salah seorang sahabat beliau, maka bukan tidak mungkin Islam sudah masuk ke kerajaan itu tidak lama sesudah Nabi Muhammad wafat. Jadi pada sekitar abad pertama Hijrah atau bertepatan dengan abad ketujuh/kedelapan tahun Masehi. Dan dapat pula diperkirakan bahwa Islam yang masuk itu langsung datang dari Mekah.
Bukanlah maksud penulis di sini untuk membuat suatu uraian panjang lebar tentang masalah proses masuknya Islam ke Kerajaan Samudera Pasai. Sebagaimana telah penulis singgung pada awal tulisan ini, adalah masih sangat sukar untuk merekonstruksikan sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia pada periode sebelum tahun 1500, oleh karena bukti sejarah tentang hal itu masih belum memadai. Di sini penulis hanya mencoba merangkaikan suatu gambaran sejarah berdasarkan tulisan-tulisan yang telah ada tentang kerajaan itu. Maka untuk mendapat suatu gambaran historis dari perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai, berikut ini akan ditinjau beberapa aspek, terutama tentang sistem sosio kulturil yang penulis perkirakan berlaku di kerajan itu.
Seperti diketahui, Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang bercorak Islam dan sebagai pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. Lazimnya kerajaan-kerajaan pantai atau kerajaan yang berdasarkan pada kehidupan/kejayaan maritim yang termasuk dalam struktur kerajaan tradisionil kerajaan-kerajaan Melayu, seperti kerajaan Islam Samudera Pasai, disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.
Sebagaimana lazimnya sebuah kerajaan maritim, Kerajaan Islam Samudera Pasai dapat berkembang karena mempunyai suatu kekuatan angkatan laut yang cukup besar menurut ukuran masa itu dan mutlak diperlukan untuk mengawasi perdagangan di wilayah kekuasaannya. Dan karena sebagai kerajaan maritim, kerajaan ini sedikit sekali mempunyai basis agraris yang hanya diperkirakan berada sekitar sebelah –menyebelah sungai Pasai dan sungai Peusangan saja, dimana terdapat sejumlah kampung-kampung (meunasah-meunasah) yang merupakan unit daripada bentuk masyarakat terkecil di wilayah Samudera Pasai pada waktu itu. Dan selain itu meunasah-meunasah ini merupakan lembaga-lembaga pemerintahan terkecil pula dari Kerajaan Samudera Pasai pada waktu itu.
Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran di kota-kota pantai yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Samudera Pasai merupakan sendi-sendi kerajaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar selain upeti-upeti yang dipersembahkan oleh kerajaan-kerajaan di bawah pengaruhnya. Perdagangan yang menjadi basis hubungan-hubungan yang tetap dengan kerajaan-kerajaan luar seperti dengan Malaka, Cina, India dan sebagainya, telah menjadikan Kerajaan Islam Samudera Pasai sebagai sebuah Kerajaan Islam yang sangat terkenal dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara terutama pada abd ke XIV dan XV. Karena kebesarannya itu, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai telah pula dapat mengembangkan penyiaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di Nusantara pada waktu itu.
Diantaranya ke Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, Jawa dan beberapa kerajaan pantai di sekitarnya. Pada abad ke XIV Kerajaan Islam Samudera Pasai menjadi pusat studi agama Islam dan juga tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keduniawian dan keagamaan. Berdasarkan berita dari Ibn.Batutah, seorang pengembara asal Maroko yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345/6, kerajaan ini berada pada puncak kejayaannya. Ibn-Batutah berada dikerajaan ini selama dua minggu dan telah melihat banyak tempat ini(kraton Samudera Pasai), mempunyai benteng di sekelilingnya. Dia telah diterima oleh wakil laksamana di Balairung dan telah diberi persalinan menurut adat setempat. Pada hari ketiga di sana Ibn Batutah mendapat kesempatan untuk menghadap sultan yang memerintah pada ketika itu yaitu Sultan Malikul Zahir yang dianggapnya sebagai sultan yang termasyur dan peramah. Selama di Samudera Pasai Ibn Batutah telah berjumpa dengan tiga orang ulama terkenal, yang masing-masing bernama Amir Dawlasa berasal dari Delhi (India), Kadi Amir Said berasal dari Shiraz dan Tajuddin berasal dari Ispahan. Dan disebutkan bahwa sultan Samudera Pasai sangat suka berdiskusi masalah-masalah agama dengan ulama-ulama itu.
Dengan melihat Samudera Pasai sebagai pusat studi dan pertemuan para ulama seperti tersebut di atas dan sesuai dengan yang telah diutarakan oleh Prof.A.Hasjmy, bahwa banyak sekali tokoh dan para ahli dari berbagai disiplin pengetahuan yang datang dari luar seperti dari Persia (bagian dari Daulah Abbasiyah) untuk membantu kerajaan Islam Samudera Pasai, maka dapat dipastikan bahwa sistem dan organisasi pemerintahan di kerajaan itu, tentunya seirama dengan sistem yang dianut oleh pemerintahan daulah Abbasiyah. Dan menurut catatan Ibn Batutah, diantara pejabat tinggi Kerajaan Islam Samudera Pasai yang ikut melepaskan sultan meninggalkan mesjid di hari Jum’at yaitu Al Wuzara (para menteri) dan Ak Kuttab (para sekretaris) dan para pembesar lainnya . Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.
Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga seperti tersebut di atas, Prof.A.Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435 H).
Untuk lebih mempererat hubungan antar kerajaan-kerajaan yang berada di bawah pengaruh Samudera Pasai ditempuh pula lewat jalan perkawinan. Dapat disebutkan di sini misalnya, perkawinan antara putri-putri dari Kerajaan Perlak dengan sulthan-sulthan Kerajaan Samudera Pasai. Selain itu juga Raja Malaka yang pertama Parameswara setelah memeluk agama Islam telah mempersunting puteri Kerajaan Pasai sebagai isterinya. Dan dengan adanya perkawinan ini telah meningkatkan pula hubungan perdagangan antara Malaka dengan Kerajaan Samudera Pasai. Juga pada masa kejayaan kerajaan ini seorang ulama Pasai yang bernama Fatahillah, telah melakukan dakwah Islam sampai ke Pulau Jawa. Dan setelah mengislamkan Banten serta memperisteri putri dari kerajaan tersebut, kemudian mendirikan suatu kesultanan di sana.
Berdasarkan beberapa mata uang emas yang disebut deureuham, yang berhasil diketemukan sebagai sebagai salah satu peninggalan dari kerajaan itu, menunjukkan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai cukup makmur pada kurun waktu seperti tersebut di atas. Karena sebuah kerajaan yang dapat menerbitkan mata uang emas sendiri pada masa itu, menandakan bahwa kerajaan itu cukup makmur menurut ukuran masa itu. Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai ini telah diperkenalkan pula oleh orang-orang kerajaan itu ke beberapa bandar perdagangan di Nusantara pada waktu itu, diantaranya ke bandar Malaka.
Atas dasar mata uang emas yang pernah diketemukan itu, dapat diketahui pula beberapa nama-nama raja yang pernah memerintah di Kerajaan Islam Samudera Pasai. Menurut T. Ibrahim Alfian yang mendasarkan atas mata uang emas tersebut, urutan-urutan raja yang memerintah di kerajaan tersebut adalah sebagai berikut: sebagai sulthan yang pertama adalah sulthan Malik As Salih yang memerintah pada tahun 1297. Sulthan ini diganti oleh puteranya yang bernama Sulthan Muhammad Malik Az Zahir (1297-1326); sebagai sulthan yang ketiga yaitu sulthan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345); sulthan yang keempat adalah Mansur Malik Az-Zahir (?- 1346); sulthan yang kelima adalah Sulthan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383); sebagai sulthan yang keenam yaitu Sulthan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405); sulthan yang ketujuh yaitu Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412); sebagai sulthan yang kedelapan yaitu Sulthan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?); sulthan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455); sebagai sulthan yang kesepuluh yaitu Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477); sulthan yang kesebelas yaitu Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500); sebagai sulthan yang sebagai kedua belas yaitu Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513); dan sebagai sulthan yang terakhir dari Kerajaan Islam samudera Pasai adalah Sulthan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524.
Setelah tahun 1524, Kerajaan Islam Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.

Komentar
Posting Komentar